MERAWAT TELUR DAN LARVA
PENDAHULUAN
Sejak diperkenalkan teknologi budidaya ikan laut
melalui model keramba jaring apung (KJA) yang di Indonesia mulai dikenal
sekitar tahun 1978 maka usaha budidaya terus meningkat dari waktu ke
waktu. Hal ini dibarengi dengan
permintaan pasar komoditas tersebut untuk ekspor maupun lokal. Beberapa jenis ikan laut yang ekonomis dan
merupakan komoditas budidaya umumnya ada
tiga golongan yaitu kerapu, kakap, dan beronang. Namun, sayangnya pemasokan benih ikan
budidaya siap tebar masih mengandalkan dari usaha penangkapan di alam. Dengan demikian, ada kemungkinan akan terjadi
eksploitasi penangkapan ikan di alam secara berlebihan. Hal ini tentu saja akan merusak keseimbangan
ekosistem di masa mendatang.
Sementara
itu, usaha pemasokan benih dari usaha panti benih (hatchery) ikan laut baik
skala lengkap (HSL) maupun skala rumah tangga (HSRT) belum mampu memenuhi
permintaan. Tentu saja, ini merupakan
peluang usaha yang sangat menjanjikan secara ekonomis dimana permintaan masih
lebih besar dibandingkan penawaran. Dan
pada prinsipnya teknologi pembenihan ikan laut sama meskipun jenis ikannya
berbeda. Indonesia merupakan daerah
tropika dengan tipe habitat yang beragam mempunyai sumber daya induk ikan
komersial yang potensial untuk dibenihkan.
Ada beberapa jenis ikan laut budidaya yang mempunyai prospek secara
ekonomis untuk usaha pembenihan diantaranya kerapu, kakap dan beronang.
Diharapkan
setelah mempelajari materi “Merawat Telur dan Larva” siswa memiliki gambaran
tentang teknologi pembenihan secara utuh dan dapat diketahui baik melalui
praktek sekolah maupun praktek di DU/DI.
Kompetensi Dasar 1 =
Menetaskan Telur
LOKASI PEMBENIHAN
Untuk
membangun suatu unit usaha pembenihan ikan laut ada beberapa criteria dan
persyaratan yang harus diperhatikan, salah satunya adalah persyaratan
lokasi. Panti Benih atau Balai Benih
(hatchery) yang mengkhususkan pada usaha pembenihan ikan – ikan laut, seperti
kerapu, kakap, dan beronang, baik hatchery skala lengkap maupun hatchery skala
rumah tangga atau dikenal dengan sebutan back-yard hatchery, tidak boleh
dibangun di sembarangan tempat.
Penentuan lokasi merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dalam
membangun suatu unit pembenihan. Dengan
pemilihan lokasi yang tepat, keberhasilan suatu unit usaha pembenihan ikan laut
dapat terjamin.
Penentuan
lokasi untuk membangun unit pembenihan ikan laut harus memperhatikan beberapa
persyaratan, antara lain persyaratan teknis dan social ekonomis.
A. Aspek Teknis
Dari
segi teknis, pemilihan dan penentuan lokasi untuk membangun suatu unit usaha
pembenihan ikan laut, perlu diperhatikan factor – factor berikut :
1. Dekat pantai
Karena
yang akan dibenihkan adalah ikan laut, maka sebagian besar aktivitas utama dalam pembenihan selalu terkait dan
berhubungan dengan laut, seperti pengambilan air, penangkapan induk,
pemeliharaan induk, pemeliharaan benih, dan kultur pakan alami. Dengan demikian, lokasi yang dipilih untuk
membangun suatu unit usaha pembenihan ikan laut harus dekat pantai. Ini bertujuan untuk memudahkan didalam pengambilan
air laut, pengadaan induk, pemeliharaan induk dan benih serta kultur pakan
alami.
2. Curah hujan
Dalam
penentuan lokasi pembangunan hatchery, harus juga diperhitungkan curah
hujan. Curah hujan yang tinggi
(frekuensi di atas 100 hari/tahun) kurang baik dipilih untuk membangun
hatchery. Kenapa?!!! Karena hujan yang terus menerus akan
berdampak kurang baik bagi beberapa parameter kualitas air, terutama salinitas
dan suhu. Selain itu, akan menghambat
kegiatan kultur pakan alami dalam skala besar yang biasa dilakukan di luar
ruangan dengan memanfaatkan sinar matahari.
Akan
lebih sulit lagi jika system bangunan suatu unit usaha pembenihan (hatchery)
menggunakan out door system dimana semua alat, bak pemeliharaan dan operasional
berada di alam terbuka. Untuk itu, agar
hujan tidak masuk ke dalam bak pemeliharaan maka ditutup dengan terpal
plastic. Namun kekurangannya, jika bak
ditutup terlalu lama, sirkulasi udaranya tidak lancer dan suhu air medianya
cenderung meningkat terus. Oleh karena
itu, daerah yang cocok untuk lokasi hatchery adalah yang frekuensi hujannya
dibawah 100 hari/tahun.
3. Angin,
Gelombang dan Arus
Faktor
angin juga merupakan hal yang harus diperhatikan dalam penentuan lokasi
pembenihan. Pada daerah yang kecepatan
anginnya tinggi, suhu air akan cenderung rendah dan cepat kotor akibat kotoran
yang dibawa angin. Dengan demikian
memilih daerah yang terlindung dari angin kencang merupakan langkah yang tepat.
Bila
pemeliharaan induk dan benih dilakukan di KJA di laut maka factor gelombang
perlu diperhatikan. Badai dan gelombang
besar mudah merusak konstruksi KJA dan memperpendek umur penggunaannya. Gelombang yang terus menerus menyebabkan ikan
stress dan selera makannya menurun. Oleh
karena itu, lokasi sebaiknya dipilih di perairan yang terlindungi dari badai
dan gelombang. Lokasi dengan pulau –
pulau kecil biasanya dipilih sebagai pelindung dari ancaman gelombang. Tinggi gelombang yang ideal untuk penempatan
KJA maksimum 0,5 meter.
Sedangkan
arus air sangat membantu pertukaran air dalam keramba, membersihkan timbunan
sisa – sisa metabolism ikan dan membawa oksigen terlarut yang sangat dibutuhkan
ikan. Namun, harus dicegah arus yang
terlalu berlebihan karena disamping merusak posisi KJA, juga menyebabkan ikan
menjadi stress, energy banyak terbuang dan selera makan berkurang. Kecepatan arus yang ideal sekitar 0,2 – 0,5
meter / detik.
4. Topografi
Topografi erat kaitannya dengan bentuk permukaan
tanah. Faktor ini penting, terutama
terkait dengan pembangunan gedung dan pembuatan tambak untuk pemeliharaan calon
induk dan benih. Oleh karena itu, data
topografi yang terperinci dari calon lokasi sangat penting untuk dimiliki. Lahan untuk pembangunan suatu unit suaha
pembenihan sebaiknya datar, sehingga tidak menyulitkan pengambilan air laut.
Sedangkan
untuk pembangunan tambak, topografi dibutuhkan untuk mengatur tata letak
tambak, disesuaikan dengan letak lokasi.
Topografi tanah juga bermanfaat untuk memperkirakan volume tanah yang
harus digali atau volume yang perlu ditimbun.
Selain itu dengan mempelajari topografi tanah, kedalaman tanah dan
saluran dapat ditentukan secara lebih tepat sehingga energy pasang surut air
laut dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Peta
topografi dapat diperoleh di Depart. Pekerjaan Umum, namun umumnya pada peta
yang tersedia, contour interval-nya
terlalu besar sehingga kurang dapat memberikan data rinci bagi keperluan
perencanaan tambak. Oleh karena itu,
peta topografi harus diusahakan sendiri melalui survey topografi, dan dibuat
dalam skala yang lebih kecil, disesuaikan dengan kebutuhan dan lahan yang ada.
5. Kesuburan
Tanah
Bila suatu unit usaha pembenihan melakukan
pemeliharaan calon induk dan benih di tambak, maka unit usaha pembenihan
tersebut harus memiliki tambak yang tidak jauh dari gedung pembenihan. Untuk membangun tambak, maka factor kesuburan
tanah juga perlu diperhatikan.
Kesuburan
tanah dapat diukur dari beberapa factor diantaranya adalah tekstur. Tanah yang baik bagi pembuatan tambak adalah
tanah yang bertekstur liat dan berlumpur/berdebu. Tanah yang bertekstur demikian memiliki sifat
sangat keras dan akan mengalami retak – retak bila dikeringkan. Sementara, dalam keadaan basah, partikel
tanah tersebut mempunyai kemampuan yang baik dalam menahan air. Tanah liat dan berlumpur juga baik bagi
pembuatan pematang dan sangat subur.
Selain
tekstur, pH (keasaman) tanah juga merupakan salah satu indicator kesuburan
tanah. pH tanah yang baik bagi lahan tambak
berkisar antara 7,0 – 8,5. Tanah juga
harus mengandung unsur hara yang cukup yang diperlukan dalam penumbuhan
plankton.
6. Sumber Air
Pada
unit usaha pembenihan ikan laut tentu saja menggunakan air laut sebagai media
atau sumber airnya, demikian juga sebaliknya untuk pembenihan ikan tawar. Air laut dipakai untuk pemeliharaan calon
induk, pematangan gonad, pemeliharaan larva benih, pemijahan dan kultur makanan
alami. Untuk mengambil air laut dapat
dilakukan dengan cara dipompa langsung dari laut atau sumur di sekitar
pantai. Namun beberapa kegiatan, seperti
pemeliharaan calon induk, pemataangan induk dan pemeliharaan benih dapat
langsung di laut dengan menggunakan KJA.
Karena
sumber air dari suatu unit usaha pembenihan kerapu berasal dari laut, maka
selain lokasi yang dipilih harus disekitar pantai, juga air laut disekitarnya
harus memenuhi syarat untuk digunakan, seperti bersih, tidak tercemar dan
beberapa indicator kimianya. Selain air
laut, suatu unit usaha pembenihan juga membutuhkan air tawar. Air tawar digunakan untuk menurunkan
salinitas air laut yang terlalu tinggi, mencuci / sanitasi peralatan dan
kebutuhan konsumsi karyawan. Air tawar
dapat diperoleh dengan cara membuat sumur di sekitar lokasi atau dengan cara
lain.
7. Kualitas Air
Dalam
kegiatan pembenihan, baik skala besar maupun skala rumah tangga, factor air
harus dalam kondisi optimum secara kuantitas maupun kualitas. Upaya memenuhi kuantitas dan kualitas air
untuk pembenihan dimaksudkasn untuk memproduksi benih yang bermutu, cukup, dan
continue.
Ada
beberapa parameter yang digunakan untuk mengukur kualitas air, baik air di
dalam bak, tambak, maupun di laut, yaitu sebagai berikut :
a) Oksigen
Oksigen dapat diartikan sebagai zat masam. Oksigen sangat vital bagi kehidupan semua
makhluk hidup, dimana tanpa oksigen semua yang bernyawa pasti akan mengalami
yang namanya maut. Demikian juga
organisme perairan dimana ikan membutuhkan oksigen guna pembakaran bahan
bakarnya (makanan) untuk menghasilkan aktivitas, seperti aktivitas berenang,
pertumbuhan, reproduksi dan sebaliknya. Oleh
karena itu, ketersediaan oksigen bagi
ikan menentukan lingkaran aktivitas ikan, konversi pakan, demikian juga laju
pertumbuhan bergantung pada oksigen, dengan ketentuan factor kondisi lainnya
adalah optimum. Untuk pertumbuhan dan
reproduksi, kandungan oksigen terlarut dalam air minimal 3 ppm sedangkan
kandungan optimum adalah antara 5 – 6 ppm.
b) Karbondioksida
Karbondioksida bersifat sebaliknya dari oksigen. Karbondioksida jauh lebih mudah larut dalam
air dibandingkan dengan oksigen sehingga sering “mengusir” dan menempati tempat
oksigen dalam air. Kenaikan
karbondioksida dalam air akan menghalangi proses difusi oksigen sehingga
mengurangi konsumsi oksigen dan sebagai kompensasinya ikan akan aktif sekali
bernafas, yang dapat dilihat dari gerakan air di sekitar insang. Keaktifan bernafas ini memerlukan kalori dan
mengurangi kesempatan untuk makan bagi ikan (nafsu makan ikan menurun bahkan
hilang), di samping selera makan sudah jauh berkurang. Kadar karbondioksida sebesar 5 ppm di dalam
air masih dapat ditoleransi oleh ikan asalkan kadar oksigennya cukup tinggi.
asalkan
kadar oksigennya cukup tinggi. Akan
tetapi kadar karbondioksida 50 – 100 ppm dapat mematikan ikan dalam waktu lama,
sedangkan kadar karbondioksida 100 – 200 ppm bersifat akut.
c) Derajat
Keasaman (pH) air
pH
air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad
renik. Perairan asam akan kurang
produktif, malah dapat membunuh ikan. Pada pH rendah kandungan oksigen terlarut
akan berkurang, sebagai akibatnya konsumsi oksigen menurun, aktivitas
pernapasan naik dan selera makan akan berkurang. Supaya usaha budidaya dapat berhasil baik
maka pH air harus berkisar antara 6,5 – 9,0 dan pertumbuhan optimal ikan akan
terjadi pada pH 7 – 8.
d) Amonia
Amonia
(NH3) dalam air berasal dari perombakan bahan – bahan organic dan
pengeluaran hasil metabolisme ikan melalui ginjal dan jaringan insang. Disamping itu, ammonia dalam perairan juga
dapat terbentuk sebagai hasil proses dekomposisi protein yang berasal dari sisa
pakan atau plankton yang mati.
Secara
biologis, di alam dapat terjadi perombakan ammonia menjadi nitrat (NO3),
suatu bentuk yang tidak berbahaya, dalam proses nitrifikasi dengan bantuan
bakteri nitrifikasi terutama Nitrosomans dan Nitrobacter. Selain itu, perombakan juga membutuhkan
jumlah oksigen yang cukup dalam air.
Perombakan yang tidak sempurna dapat mengakibatkan akumulasi ion nitrit
(NO2) yang bersifat racun.
Perairan
yang baik untuk budidaya ikan adalah yang mengandung ammonia kurang dari 0,1
ppm. Ikan mulai terganggu pertumbuhannya
pada perairan yang kandungan amonianya mencapai 1,20 ppm, sedangkan konsentrasi
ammonia di atas 2 ppm dapat membunuh sebagian besar jenis ikan. Dalam perairan yang belum tercemar ternyata
kandungan amonianya masih jauh dibawah 0,02 ppm, dan konsentrasi ini dianggap
aman bagi ikan ikan budidaya.
e) Suhu
Suhu
sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan ikan. Secara umum laju pertumbuhan meningkat
sejalan dengan kenaikan suhu. Suhu juga
dapat menekan kehidupan ikan bahkan menyebabkan kematian bila peningkatan suhu
sampai ekstrem (drastic). Sifat ikan
yang poikiloterm (suhu tubuh ikan dipengaruhi oleh suhu air disekitarnya)
mengakibatkan rendahnya tingkat metabolisme setelah air mengalami penurunan
suhu.
Distribusi
suhu secara vertical perlu diketahui karena akan mempengaruhi distribusi
mineral dalam air karena kemungkinan terjadi pembalikan lapisan air. Suhu air akan mempengaruhi juga kekentalan
(viskositas) air. Perubahan suhu yang
drastic dapat mematikan ikan karena terjadi perubahan daya angkut darah. Daya angkut darah akan lebih rendah pada suhu
tinggi. Suhu juga mempengaruhi seleras
makan. Ikan lebih lahap makan pada pagi
dan sore hari sewaktu suhu air berkisar antara 27 – 28 oC.
Kisaran
suhu optimal bagi kehidupan ikan adalah antara 27 – 32 oC. Jika suhu rendah akan mengakibatkan ikan
kehilangan nafsu makan sehingga pertumbuhannya terhambat sebaliknya jika suhu
terlalu tinggi ikan akan stress bahkan mati kekurangan oksigen. Suhu yang terlalu rendah maupun terlalu
tinggi dapat membahayakan ikan, karena beberapa pathogen berkembang biak pada
kondisi tersebut.
f)
Hidrogen Sulfida
Hidrogen
sulfide atau asam belerang (H2S) merupakan gas beracun yang dapat
larut dalam air. Akumulasinya di dalam
perairan biasanya ditandai dengan endapan lumpur hitam berbau khas seperti
telur busuk. Sumber utamanya adalah hasil
dekomposisi sisa – sisa plankton, kotoran ikan dan bahan organic lainnya. Daya racun H2S tergantung pada
suhu, pH dan oksigen terlarut.
Konsentrasi H2S yang aman bagi ikan adalah kurang dari 0,1
ppm. Meningkatnya H2S di
dalam wadah pemeliharaan, terutama tambak dapat dikurangi dengan pembungan sisa
kotoran secara rutin, pengeringan tambak yang cukup, pengapuran tanah dan padat
penebaran sesuai dengan daya dukung lahan.
g) Salinitas
Di
perairan samudra, salinitas biasanya berkisar antara 34 ppt – 35 ppt. Di perairan pantai karena terjadi pengenceran
aliran sungai, salinitas biasanya turun, sebaliknya di daerah dengan penguapan
yang sangat tinggi biasanya salinitas meningkat tinggi. Air payau adalah istilah umum yang digunakan
untuk memberi nama air berdasarkan salinitas misalnya : air tawar 0 – 0,5 ppt;
air payau 0.5 ppt – 17 ppt dan air laut di atas 17 ppt.
h) Pencemaran
Air
laut / payau yang digunakan untuk mengisi tambak harus bebas dari bahan
pencemaran. Bahan pencemaran dapat
berasal dari limbah rumah tangga, seperti detergen, limbah pertanian seperti
pestisida, atau pun limbah pabrik seperti buangan sisa – sisa logam.
Beberapa
logam berat yang perlu diperhatikan, karena bila kandungannya di dalam air
melewati ambang batas keamanan yang ditetapkan, maka sangat membahayakan
konsumen (manusia), antara lain Cadmium < 0.02 ppm;
Plumbum
< 0.02 ppm; Cuprum < 0.01 ppm.
Sedangkan beberapa unsur kimia antara lain : Sianida < 0.01 ppm;
Aldrin < 0.01 ppm; DDT < 0.02 ppm dan Dieldrin < 0.05 ppm.
B. Aspek Sosial Ekonomis
Selain aspek teknis,
aspek sosial ekonomi juga menjadi salah satu aspek penting, karena salah satu
syarat kelayakan lokasi harus memenuhi aspek ini. Beberapa factor yang dapat dijadikan
parameter untuk mengukur kelayakan lokasi untuk membangun suatu unit usaha
pembenihan, yaitu
a. Tidak
sulit memasarkan hasil produksi jika dilihat dari dukungan sarana dan prasarana
transportasi.
b. Tersedia
sumber energy listrik yang cukup.
c. Tersedia
tenaga kerja yang cukup, terutama untuk usaha skala besar, baik tenaga kerja
biasa atau pun tenaga kerja ahli.
d. Tersedia
sarana dan prasarana transportasi secara memadai.
e. Tersedia
alat dan bahan di sekitar lokasi atau untuk pengadaannya tidak mengalami
hambatan.
f. Mendapat
dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun pihak – pihak lain yang
terkait.
g. Lokasi
yang dipilih peruntukannya jelas, sehingga tidak berbenturan dengan
kepentingan instansi atau lembaga lain dikemudian hari.
Proses Penetasan Telur
Ada dua cara untuk memperoleh induk yang siap
dipijahkan. Pertama melalui usaha
pembesaran dari kecil dengan metode pembesaran di KJA dan tambak, dan kedua
melalui penangkapan calon induk di alam yang kemudian ditampung di tempat
penampungan. Cara yang kedua merupakan
cara yang lebih singkat. Induk yang
digunakan biasanya berasal dari alam.
Hal ini disebabkan induk yang diproduksi melalui usaha pembesaran
membutuhkan waktu yang cukup lama (lebih dari 1 tahun). Induk yang digunakan harus sehat, tidak cacat
fisik, gerakannya lincah dan telah mencapai ukuran dewasa.
Setelah induk siap pijah, maka
dilakukan proses pemijahan. Ada beberapa
teknik pemijahan yang telah banyak dan sudah umum dipraktekkan. Metode tersebut diantaranya adalah pemijahan
secara alami (untuk mempercepat pemijahan biasa dilakukan manipulasi
lingkungan), pemijahan dengan rangsangan hormone, dan pemijahan dengan metode
pemijatan / pengurutan (stripping).
Pada proses pemijahan, pelepasan
telur oleh induk betina umumnya berlangsung pada malam hari dan diikuti oleh
pemijahan spermatozoa oleh induk jantan.
Setelah induk ikan melakukan pemijahan maka sel telur dan sel sperma
akan bertemu dan mengalami proses pembuahan (fertilisasi) yang akan membentuk
zygot. Pembuahan pada ikan umumnya
terjadi di luar tubuh. Artinya setelah
telur dilepaskan oleh induk betina, induk jantan mengeluarkan spermatozoa. Jika telur hasil pemijahan tidak mengalami
penggabungan dengan spermatozoa, maka telur ikan akan mati. Telur ikan yang mati mudah diketahui karena
kecerahannya hilang, warnanya pucat, atau putih keruh.
Pembuahan telur ikan didukung adanya
substansi yang disebut fertilizing yang merangsang spermatozoa untuk
mengejar telur yang dkeluarkan oleh ikan betina. Fertilizin sendiri dikeluarkan oleh telur
pada saat terakhir ketika telur dilepas dan siap untuk dibuahi. Pembuahan telur dapat terjadi jika
spermatozoa memasuki telur lewat mikropile.
Satu spermatozoa cukup untuk membuahi satu telur ikan dan pembuahan itu
sendiri terjadi dengan masuknya kepala spermatozoa ke dalam sel telur dan ekor
spermatozoa tertinggal di luar. Ketika
spermatozoa masuk ke dalam sel telur, sitoplasma dan khorion meregang dan
dengan semacam sumbat segera menutup mikropile untuk menghalangi masuknya
spermatozoa yang lain. Jika sel telur
yang sudah bergabung dengan spermatozoa, inti spermatozoa mulai membesar dan
kromosomnya mengalami perubahan, sehingga memungkinkan untuk berhimpun dengan
kromosom dari sel telur sebagai fase awal pembelahan.
Perkembangan
Embrio
Perkembangan embrio dimula dari
pembelahan zygote (cleavage), stadia morula (morulasi), stadia blastula
(blastulasi), stadia gastrula (gastrulasi), dan stadia organogenesis.
a. Stadia Cleavage
Cleavage adalah pembelahan zygote secara cepat menjadi
unit unit yang lebih kecil yang disebut blastomer. Stadium cleavage merupakan rangkaian mitosis
yang berlangsung berturut turut segera setelah terjadi pembuahan yang
menghasilkan morula dan blastomer.
b. Stadia Morula
Morula merupakan pembelahan sel yang terjadi setelah
sel berjumlah 32 sel dan berakhir bila sel sudah menghasilkan sejumlah
blastomer yang berukuran sama akan tetapi ukurannya lebih kecil. Sel tersebut memadat untuk menjadi blastodik
kecil yang membentuk dua lapisan sel.
Pada saat ini ukuran sel mulai beragam.
Sel membelah secdara melintang dan mulai membentuk formasi lapisan kedua
secara samar pada kutup anima. Stadia
morula berakhir apabila pembelahan sel sudah menghasilkan blastomer. Blastomer kemudian memadat menjadi blastodisk
kecil membentuk dua lapis sel. Pada
akhir pembelahan akan dihasilkan dua kelompok sel. Pertama kelompok sel sel utama (blastoderm),
yang meliputi sel sel formatik atau gumpalan sel sel dalam (inner mass cells),
fungsinya membentuk tubuhy embrio. Kedua
adalah kelompok sel sel pelengkap, yang meliputi trophoblast, periblast, dan
auxiliary cells. Fungsinya melindungi
dan menghubungi antara embrio dengan induk atau lingkungan luar. Kelompok sel sel yang terdiri dari jaringan embrio
(blastodic) dan jaringan periblas, pada ikan, reptildan burung disebut cakram
kecambah (germinal disc).
c. Stadia Blastula
Blastulasi adalah proses yan menghasilkan blastulasi
yaitu campuran sel sel blastoderm yangmembentuk rongga penuh cairan sebagai blastocoels. Pada akhri blastulasi, sel sel blastoderm
akan terdiri dari neural, epidermal, notochordal, mesodermal, dan endodermal
yang merupakan bakal pembentuk organ organ.
Dicirikan dua lapisan yang sangat nyata dari sel sel datar membentuk
blastocoels dan blastodisk berada di lubang vegetal berpindah menutupi sebagian
besar kuning telur. Pada blastula sudah
terdapat daerah yang berdiferensiasi membentuk organ organ tertentu seperti sel
saluran pencernaan, notochorda, syaraf, epiderm, ectoderm, mesoderm, dan
endoderm.
d. Stadia Gastrula
Gastrula adalah proses perkembangan embrio,dimana sel
bakal organ yang telah terbentuk pada stadia blastula mengalami perkembangan
lebih lanjut. Proses perkembangan sel
bakasl organ ada dua, yaitu epiboli dan emboli.
Epiboli adalah proses pertumbuhan sel yang bergerak ke arah depan,
belakang, dan ke samping dan sumbu embrio dan akan membentuk epidermal,
sedangkan emboli adalah proses pertumbuhan sel yang bergerak ke arah dalam
terutama di ujung sumbu ebrio. Stadia
gastrula ini merupakan proses pembentukan ketiga daun kecambah yaitu ectoderm,
mesoderm dan endoderm. Pada proses gastrula ini terjadi perpindahan ectoderm,
mesoderm, endoderm, dan notochord menuju tempat yang definitive. Pada periode ini erat hubungannya dengan
proses pembentukan susunan syaraf. Gastrulasi
berakhir pada saat kuning telur telah tertutupi oleh lapisan sel. Beberapa jaringan mesoderm yang beradas di
sepanjang kedua sisi otochord disusun menjadi segmen segmen yang disebut somit
yatu ruas yang terdapat padas embrio.
e. Stadia Organogenesis
Organogenesis merupakan stadia terakhir dari proses
perkembangan embrio. Stadia ini
merupakan proses pembentukan organ organ tubuh makhluk hidup yang sedang
berkembang. Dalam proses organogenesis
terbentuk berturut turut bakal organ yaitu syaraf, notochorda, mata, somit,
rongga kuffer, kantong alfaktori, rongga ginjal, usus, tulang subnotochord,
linea lateralis, jantung, aorta, insang, infundibullum, dan lipatan lipatan
sirip. Sistem organ organ tubuh berasal
dari tiga buah daun kecambah, yaitu ekdermal, endodermal, dan mesodermal. Pada ektodermal akan membentuk organ – organ
susunan (system) saraf dan epidermis kulit.
Endodermal akan membentuk saluran pencernaan beserta kelenjar kelenjar
pencernaan dan alat pernafasan, dan mesodermal akan membentuk rangka, otot,
alat alat peredaran darah, alat ekskresi, alat alat reproduksi, dan korium
(chorium) kulit. Jika proses
organogenesis ini telah sempurna maka akan dilanjutkan dengan proses penetasan
telur.
Proses
Penetasan Telur
Penetasan adalah perubahan
intracapsular (tempat yang terbatas) ke fase kehidupan (tempat luas), hal ini
penting dalam perubahan perubahan morfologi hewan. Penetasan merupakan saat
terakhir masa pengeraman sebagai hasil beberapa proses sehingga embrio keluar
dari cangkangnya. Penetasan terjadi
karena :
1. Kerja mekanik
Oleh karena embrio sering mengubah posisinya karena kekurangan ruang
dalam cangkangnya atau karena embrio telah lebih panjang dari lingungan dalam
cangkangnya. Dengan pergerakan pergerakan
tersebut bagian telur lembek dan tipis akan pecah sehingga embrio akan kelur
dari cangkangnya.
2. Kerja enzimatik
Enzim dan zat kimia lainnya yang dikeluarkan oleh kelenjar endodermal di
daerah pharink embrio. Enzim ini disebut chorionase yang kerjanya bersifat
mereduksi chorion yang terdiri dari pseudokeratine menjadi lembek. Sehingga pada bagian cangkang yang tipis dan
terkena chorionase akan pecah dan ekor embrio keluar dari cangkang kemudian
diikuti tubuh dan kepalanya.
Semakin aktif embrio bergerak akan semakin cepat
penetasan terjadi. Aktivitas embrio dan
pembentukan chorionase dipengaruhi oleh factor dalam dan luar. Faktor dalam antara lain hormone dan volume
kuning telur.Hormon tersebut adalah hormone yang dihasilkan kelenjar hipofisa
dan tyroid sebagai sebagai hormone metamorfosa, sedang volume kuning telur
berhubungan dengan energy perkembangan embrio.
Sedangkan factor luar yang berpengaruh adalah suhu, oksigen, pH, salinitas,
dan intensitas cahaya. Penetasan telur
terjadi bila embrio telah menjadi lebih panjang dari pada lingkaran kuning dan
telah terbentuk sirip ekor. Penetasan
terjadi dengan cara pelunakan chorion oleh suatu enzim atau substansi kimia
lainnya hasil sekresi kelenjar ekstoderm.
Selain itu penetasan juga disebabkan oleh gerakan gerakan larva akibat
peningkatan suhu, intensitas cahaya, dan pengurangan tekanan oksigen.
Prinsip penetasan telur ikan yaitu mengumpulkan telur
telur kemudian memindahkannya ke dalam bak bak penetasan dan pemeliharaan. Agar dapat menghasilkan larva yang
berkualitas tinggi, maka proses inkubasi telur harus dilakukan dengan hati
hati. Inkubasi telur ini bertujuan untuk
membuat kondisi sedemikian rupa agar perkembangan embrio berlangsung dengan
baik, dan akhirnya dapat diperoleh larva yang berkualitas. Telur telur dari hasil pemijahan alami,
rangsangan hormone atau pemijatan/pengurutan ditampung di dalam kantong jaring
yang halus. Kantong jaring tersebut
dapat dibuat dari kain yang halus atau plankton net dengan diameter mata
jaring (mesh size) kurang dari diameter telur. Kantong jaring tersebut dimasukkan ke dalam
bak bak bulat berkapasitas 0,5 m3
– 1 m3 air laut filter (air laut bersih). Sebelum bak digunakan, sebaiknya disanitasi
dengan larutan Chlorida 400 ppm selama 24 jam.
Selanjutnya, bak penetasan dibilas dengan air tawar sampai bersih. Jika sudah dianggap cukup bersih, bak
penetasan baru diisi air laut. Air laut
yang digunakan selalu mengalir pada tingkat 10 liter/menit sehingga terus
terjadi pergantian air. Aerasi yang
tidak terlalu kuat juga diberikan agar telur telur dapat menyebar merata. Suhu air bak yang sesuai bagi penetasan telur
berkisar antara 27 – 29o C dan salinitas antara 30 – 32 ppt, padat
penebaran telur 40 – 60 butir per liter untuk kerapu sedangkan untuk bandeng 20
– 40 butir per liter. Biasanya, di
tempat ini telur akan menetas dalam waktu 16 – 25 jam setelah terjadi pembuahan
(fertilisasi), dengan tingkat penetasan mencapai 60 – 70 %. Larva yang baru menetas berukuran 1,34 – 1,79
mm, tergantung dari jenis ikannya. Pada
table berikut dapat dilihat perbandingan ukuran telur pada jenis kerapu yang
berbeda.
Tabel. Diameter telur, diameter
butiran minyak, masa inkubasi dan panjang larva yang baru menetas pada beberapa
kerapu.
Jenis Kerapu
|
Diameter telur (mm)
|
Diameter butiran minyak pada telur (mm)
|
Masa Inkubasi (jam)
|
Panjang larva yang baru menetas (mm)
|
Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus)
|
0.80 – 0.90
|
0.10
|
14 – 18
|
1.34
|
Kerapu lumpur (Epinephelus suillus)
|
0.90
|
-
|
16 – 25
|
1.5 – 1.9
|
Kerapu sunu (Plectropumus maculates)
|
0.80
|
0.18
|
16 – 18
|
1.59
|
Kerapu bebek (Cromileptes altivelis)
|
-
|
-
|
18 – 22
|
1.69 – 1.79
|
Standar Kompetensi 2 = Memberi
Pakan Larva
Pemberian
pakan dilakukan nanti setelah larva berumur 2 hari karena pada saat baru
ditetaskan biasanya disebut larva berumur 0 hari (D-0), larva membawa cadangan
kuning telur (yolk sack) dan gelembung minyak (oil globule), dan itu akan habis
pada saat larva berumur 2 hari (D-2).
Pakan untuk larva dan benih harus tersedia dalam jumlah dan mutu gizinya
bertepatan dengan saat larva dan benih membutuhkan pakan dari luar. Pakan yang disediakan juga harus sesuai
dengan ukuran mulut larva dan benih.
Berikut ini dikemukakan beberapa pakan larva dan benih diproduksi secara
masal dalam wadsah terkontrol dan sudah dikenal umum.
Pakan alami meliputi Chlorella
(Fitoplankton), Rotifera, Artemia, dan jenis zooplankton yang lain seperti
larva tiram atau kerang kerangan yang lain dalam bentuk stadium trokopor dan
berbagai jenis kopepoda alam seperti Acartia, Oithona, Pseudodiaptomus, Calanus
dan lain lain sangat cocok sebagai pakan benih / larva.
Komentar